Catatan #IGF2013: Kebebasan setelah Bersuara

Kebebasan Berekspresi di dunia online, masih menjadi sebuah isu bersama dari berbagai warga negara dunia. @advox melaporkan bahwa hingga kini terdapat 377 kasus terkait kebebasan berekspresi di dunia online, yang umumnya dialami oleh para blogger. Sementara, @SAFENetVoice mencatat setidaknya terdapat 26 kasus terkait kebebasan berekspresi online yang terjadi di Indonesia. Tidak hanya ibu rumah tangga, namun kini UU ITE juga telah menjerat politisi, aktivis, hingga pelajar dan mahasiswa.

Sebaran Kasus Kebebasan Ekspresi Online – threatened.globalvoicesonline.org
Sebaran Kasus Kebebasan Ekspresi Online – threatened.globalvoicesonline.org

Kasus Kebebasan Berekspresi Online di Indonesia – id.safenetvoice.org
Kasus Kebebasan Berekspresi Online di Indonesia – id.safenetvoice.org

Di dunia, Iran, China dan Mesir merupakan negara yang paling ketat dengan kebebasan berekspresi online. Sementara, di Indonesia, kasus sering terjadi di Jawa. Dan bukan tidak mungkin, ini hanyalah sebuah puncak gunung es. SAFENet menyebutkan bahwa setelah melakukan publikasi data-data kasus kebebasan berekspresi online di Indonesia, mereka menerima informasi kasus-kasus lain yang serupa, namun belum terpublikasikan oleh media. Ada beberapa kasus yang bahkan diredam atau diselesaikan langsung oleh kedua belah pihak, baik dengan perantara pihak ketiga ataupun langsung oleh pihak bersangkutan.

Dalam diskusi-diskusi di Internet Governance Forum ke-8 di Nusa Dua, Bali, kebebasan berekspresi menjadi salah satu isu penting dan kerap didiskusikan. “Ada kebebasan berekspresi yang dilindungi sebagai Hak Asasi Manusia, namun kita tak memperoleh kebebasan setelah bersuara” ujar seorang peserta diskusi. Dalam kamar diskusi lainnya, Dewan Pers Indonesia menyatakan bahwa “Mereka (blogger) itu menjadi sendiri karena pilihan. Kami (Dewan Pers) telah memiliki pembicaraan dengan Kepolisian dan Kejaksaan, agar setiap kasus terkait penulisan (pemberitaan) diselesaikan sesuai UU Pers. Dan bilamana mereka (Blogger) mau dilindungi, harus mengikuti aturan Pers (Kode Etik Jurnalistik)”. “Blogger dan Jurnalis itu berbeda dan memperoleh perlakukan yang berbeda,” demikian ungkap blogger Nepal, “Kami tetap merasa penting ada perlindungan terhadap Blogger”.

Perdebatan antara kepentingan perlindungan blogger mengemuka diantara beragam diskusi lain di IGF2013. Lalu bagaimana seharusnya Blogger agar dapat dilindungi ketika menyuarakan sesuatu di dunia online? Haruskan blogger mengadopsi Kode Etik Jurnalistik? Ataukah Blogger harus membangun sebuah Asosiasi Blogger? Ataukah malah Blogger mendorong adanya Dewan Blogger Nasional, yang setara dengan Dewan Pers? Masih banyak pertanyaan bagi para blogger, yang entah kapan akan mampu dijawab.

ADE FADLI
Baca selengkapnya di Catatan #IGF2013: Kekebasan setelah Bersuara