Dilema Netizen di Indonesia: Pilih Partisipasi Atau Penjara

PESTA demokrasi Indonesia 2014 memasuki zaman baru. Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal the silent majority akibat dari kebijakan the floating mass sejak zaman Orde Baru – ditandai dengan rendahnya level partisipasi politik karena jargon “politik no, pembangunan yes”– tiba-tiba berubah. Lanskap politik yang tadinya sunyi sepi, tiba-tiba tersegmentasi menjadi dua kubu pendukung calon presiden yang berseberangan. Yang juga berbeda, lanskap politik diwarnai dengan masifnya penggunaan media sosial dan pemanfaatan teknologi internet oleh netizen di Indonesia untuk terlibat dalam situasi politik.

Politik yang dulunya tabu dibicarakan menjadi hal yang lazim dibicarakan di ruang privat, publik, bahkan di media sosial. Kritik-kritik bahkan juga fitnah kerap dilontarkan, baik kepada figur calon presiden, para pendukung calon presiden, atas jalannya pemerintahan sekarang, maupun kebijakan yang pernah dan akan diambil. Bukan hanya itu, bahkan netizen memiliki peran baru sebagai “pengawal” jalannya pemilu lewat sejumlah inisiatif teknologi internet. Ambil contoh, inisiatif Ainun Najib dan kawan-kawan lewat kawalpemilu.org sehingga netizen bisa terlibat sebagai pemeriksa berkas-berkas pemilu untuk menghindari kecurangan.

Peningkatan peran netizen juga bisa ditandai dengan keterlibatan mereka menjadi buzzer atau juru bicara kandidat calon presiden, baik dibayar maupun sukarela. Inisiatif terkini partisipasi netizen juga hadir lewat polling center “Kabinet Alternatif Usulan Rakyat“ yang diadakan Radio Jokowi dan Jokowi Center untuk memudahkan netizen mengusung nama menteri favorit mereka kepada presiden terpilih. Berbagai hal tersebut menunjukkan: internet bukan lagi sekadar menyalurkan aspirasi, namun juga internet dapat membantu netizen untuk berpartisipasi dalam agenda-agenda demokrasi.

Internet adalah Instrumen Demokratisasi Mutakhir

Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB untuk Kemerdekaan Berpendapat dan Berekspresi. Pada laporan tanggal 16 Mei 2011, Frank La Rue menulis bahwa ia percaya internet menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis. Lebih lanjut lagi, Internet bukan hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga menyuarakan hak asasi manusia dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Lebih elaboratif dalam laporan tanggal 4 September 2013, Frank La Rue menulis mengenai peran internet untuk memenuhi hak atas kebenaran. Ia merefleksikan hal tersebut dari sekian banyak hal yang selama ini ditutup-tutupi pemerintah di banyak negara. Negara dengan sengaja membatasi hak warga untuk mendapatkan kebenaran atas sejumlah peristiwa nasional yang terjadi. Tanpa akses ke informasi yang memadai maka gagasan akan transparansi, akuntabilitas pejabat publik, pemberantasan korupsi ataupun partisipasi publik dalam proses penyusunan kebijakan, tidak akan pernah terwujud.

Frank La Rue juga menulis bahwa kemajuan peran internet telah membuat pemerintah di banyak negara risau. Kerisauan pemerintah ditunjukkan dengan berbagai tindakan untuk memblokir konten, memata-matai (surveillance) dan mengidentifikasi aktivis dan mengkriminalisasi pendapat atau ekspresi yang sah. Kerisauan tersebut termanifestasi dalam wujud aturan pembatasan untuk melegitimasi tindakan-tindakan tersebut.

Bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia pada internet? Pada sidang World Conference on International Telecommunications 2012 tanggal 3-14 Desember 2012 di Dubai, Uni Emirat Arab, pemerintah Indonesia terlibat aktif untuk mereview dan merevisi ketentuan tentang International Telecommunication Regulations (ITRs). Pemerintah Indonesia menginginkan adanya penambahan aspek keamanan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi serta aspek penegakan hukum terhadap ancaman-ancaman dunia maya yang tidak hanya menyangkut masalah keamanan jaringan, tetapi juga menyangkut perlindungan dan keamanan masyarakat di suatu negara. Selain itu pemerintah Indonesia juga ingin agar isu-isu keamanan/security diatur dalam ITRs. Pandangan pemerintah Indonesia ini sama dengan pendapat pemerintah Iran, Cina, Rusia, Arab Saudi (negara-negara yang bermusuhan dengan internet). Sementara negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia dan Belanda berpendapat sebaliknya dengan menyatakan bahwa isu-isu keamanan tidak perlu diatur dalam ITRs, karena bertentangan dengan Resolusi Nomor 130 Guadalajara Tahun 2010, dan mengusulkan istilah baru yaitu “robustness” sebagai penganti istilah keamanan dalam ITRs.

Apa artinya? Bila mengacu pada laporan Frank La Rue, pemerintah Indonesia termasuk dalam kelompok pemerintahan yang risau akan kemajuan internet. Alih-alih memikirkan kebijakan untuk melibatkan netizen dalam partisipasi warga dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis, pemerintah lebih tertuju pada aturan-aturan untuk membatasi pemanfaatan internet dan perilaku penggunanya.

Kominfo, Rezim Kontrol Internet?

Internet di Indonesia diatur lewat Undang-Undang Nomer 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Selama 6 tahun usianya, UU ITE ini telah mengatur tata kelola internet sekaligus menetapkan sejumlah perbuatan yang dilarang, antara lain: 1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, penyebaran kebencian, ancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 2. akses ilegal (Pasal 30); 3. intersepsi ilegal (Pasal 31); 4. gangguan terhadap data (Pasal 32 UU ITE); 5. gangguan terhadap sistem (Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (Pasal 34 UU ITE).

Sorotan pada UU ITE mencuat sejak terjadinya kasus penahanan Prita Mulyasari pada tahun 2009 karena pasal 27 ayat 3 UU ITE mengenai pencemaran nama baik. Menyusul Prita Mulyasari, ada lebih dari 50 kasus yang tercatat oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFENET, terkait pasal tersebut hingga kasus Florence Sihombing akhir bulan Agustus 2014. Kelemahan pasal tersebut ada pada multi tafsir pada pengertian “transmisi elektronik” yang tidak dibedakan antara mana komunikasi yang privat dan mana yang publik sehingga warga yang mengirim SMS, e-mail, forum tertutup di Facebook, menulis status di Blackberry Messenger disamakan dengan mereka yang menulis status di Twitter, wall Facebook, dan sosial media terbuka lainnya. Selain itu, sorotan juga pada pengertian penghinaan/pencemaran nama baik yang subyektif. Padahal bila merujuk pada pasal 310 dan 311 KUHP, pembuktian atas kasus pencemaran nama harus lebih dulu dijelaskan mengenai niat. Itu artinya, mereka yang tidak melakukannya secara sengaja tidak bisa dikenakan pasal pencemaran nama dengan mudah.

Bila melihat ke lebih dari 50 kasus yang dicatat SAFENET, maka akan tampak penerapan pasal 27 ayat 3 UU ITE ini lebih menguntungkan mereka yang tidak ingin dikritik daripada melindungi mereka yang benar-benar telah dihina lewat internet. Kehadiran pasal 27 ayat 3 UU ITE dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda 1 milyar dalam pasal 45 UU ITE ini juga tidak melihat dampak besar yang ditimbulkannya yaitu efek jeri (chilling effect) kepada masyarakat untuk menulis atau berpendapat secara kritis lewat internet. Efek jeri ini membuat kritik tidak berkembang, sehingga partisipasi warga dalam menjaga jalannya pemerintahan tidak berjalan dengan baik.

Selain pasal 27 ayat 3 UU ITE, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE juga mempunyai masalah bagi netizen di Indonesia. Kriminalisasi pendapat netizen jelas salah. Itu sebabnya, UU ITE perlu dikembalikan ke semangat yang benar: melindungi netizen secara hukum dan menjamin partisipasinya dalam proses demokratisasi.

Kominfo juga perlu ditegur karena melakukan blokir konten di internet lewat Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Peraturan tersebut membatasi hak warga dan menempatkan Kominfo menjadi lembaga superbody untuk melakukan kontrol konten internet. Kominfo menjadi pelapor, pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar penilaian, sekaligus penilai dan eksekutor dalam menerapkan kebijakan pemblokiran dan penyaringan konten. Pelaksanaan di lapangan berjalan karut-marut karena banyak konten internet yang tidak bermuatan pornografi juga ikut ditutup dengan sepihak. Sebut saja situs tentang edukasi menyusui (ASI), tentang aksesibilitas difabel (tuna netra), tentang program edukasi anak/remaja dan tentang wisata di Mentawai, tentang kamus bahasa, dan lainnya.

Terakhir tentang penyadapan warga. Pada bulan Maret 2013, sejumlah Internet Service Provider (ISP) di Indonesia, yaitu Telkom, Biznet dan MatrixNet terindikasi telah terpasang perangkat yang dapat digunakan untuk memata-matai pengguna Internet di Indonesia di servernya. Pada bulan September 2013, militer Indonesia diberitakan membeli teknologi surveillance dari perusahaan swasta Gamma International yang masuk dalam kategori “corporate enemies of the internet”. Penemuan fakta ini juga mengganggu proses partisipasi warga dalam mengawal pemerintahan. Bagaimana bisa terlibat dalam partisipasi dengan bebas dari rasa takut apabila ada pemantauan diam-diam dari pemerintah atau lembaga tertentu.

Hanya penghapusan kriminalisasi pendapat dan jaminan perlindungan partipasi dari blokir konten dan penyadapan bisa membuat pemerintahan di Indonesia berjalan lebih demokratis lewat partisipasi netizen. Karena bila tidak, dijamin lebih banyak netizen di Indonesia masuk ke penjara.

DAMAR JUNIARTO

Sumber:

Laporan Frank La Rue, Mei 2011

Laporan Frank La Rue, September 2013

4 Contoh Situs Salah Blokir – Donny BU

Laporan SAFENET untuk kasus pencemaran nama lewat internet