[Diskusi Publik] UU ITE & Ancaman Kemerdekaan Berekspresi

Kegiatan Diskusi Publik: UU ITE & Ancaman Kemerdekaan Berekspresi
Hari Rabu, 25/02/2015
Pukul 16.00 di Common Room, Jl. Muararajeun No.15 ~ Bandung

Dari Kata Jadi Penjara

Banyak hal terjadi di media sosial, dari berbagi hingga mendatangkan sial. Semua bisa saling berinteraksi tanpa disekat garis demarkasi. Nyaris takada sensor dan pembatasan, saran hingga kecaman bisa langsung diutarakan. Tapi kebebasan memang ada batasnya, masing-masing bertanggung jawab atas ucapannya. Masih banyak yang taksudi dikecam tapi haruskah dijawab dengan pemenjaraan?

Perlu diketahui:

  1. Muhammad Arsyad dijerat hanya karena menulis status di BBM. Ia dilaporkan pada 9 Juli 2013, dijadikan tersangka pada 13 Agustus 2013, dan ditahan sejak 9 September 2013. Arsyad dinyatakan bebas setelah ditahan 100 hari.
  2. Ervani Emy Handayani dijerat hanya karena menulis status di FB pada 30 Mei 2014. Ia pun dilaporkan dan dijadikan tersangka. Ia sudah mengirimkan surat permohonan maaf per 13 Juli 2014 tetapi tidak ada tanggapan. Ervani dinyatakan bebas setelah ditahan selama 20 hari.
  3. Fadli Rahim dijerat hanya karena percakapannya di grup Line. Ia dilaporkan, dijadikan tersangka, dan ditahan sejak 24 November 2014. Sebagai PNS di Gowa, pangkatnya diturunkan. Bahkan ibunya yang berprofesi guru juga terkena dampaknya dan langsung dimutasi.

Itu hanya sebagian kecil kasus yang terjadi. Sampai hari ini setelah Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan pada 2008, sudah ada 77 orang yang terjerat. Ini bukan jumlah kecil, apalagi mengingat mengapa UU ini dibuat, yaitu untuk melindungi netizen yang makin banyak melakukan transaksi online. Kenyataannya hampir semua kasus berhubungan dengan pasal 27 ayat 3. Sebagai informasi, Ipul Gassing, seorang blogger yang aktif di organisasi SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network) yaitu sebuah organisasi nirlaba yang fokus mengamati kebebasan berekspresi di internet, pernah menuliskannya di kolom OPINI Harian Fajar Makassar, 8 Januari 2015.

“Sejak diberlakukan tahun 2008, UU ITE memang seakan menjadi momok bagi pengguna internet, utamanya mereka yang biasa bersuara kritis. Salah satu pasal yang paling sering digunakan adalah pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Ganjaran yang diatur dalam pasal ini tidak main-main, pelanggar akan dikenakan sanksi penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 1 milyar. Sebuah jumlah yang mampu membuat bulu kuduk merinding.

Sejatinya UU ITE memang hadir untuk mengatur tata kelola dan tata guna internet di Indonesia, harapan utamanya adalah agar para pengguna internet di Indonesia tidak lantas kebablasan dan menggunakan internet untuk sesuatu yang negatif dan melanggar etika serta hukum. Sayangnya, penetapan UU ITE dilakukah sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain.

Satu hal yang disepakati bersama adalah bahwa internet sudah menjadi milik banyak orang di Indonesia, bukan hanya pemerintah tapi juga pengusaha, pengajar, anak sekolah, pekerja sosial hingga warga biasa. Sangat penting untuk melibatkan banyak unsur dalam mengatur tata kelola internet di Indonesia agar peraturan yang dihasilkan benar-benar mampu mengakomodir kepentingan banyak pihak. Lubang terbesar dari UU ITE yang disahkan pemerintah sejak 2008 adalah pemberlakuan pasal karet tentang penghinaan dan pencemaran nama baik utamanya pasal 27 ayat 3. Sebagian besar pelapor adalah mereka yang merasa dihina atau namanya dicemarkan.

Fakta lain adalah bahwa dari 78 kasus yang dilaporkan ke polisi sebagian besar bersifat asimetrical power atau ketidakseimbangan kekuatan yang mana pelapor adalah orang-orang yang lebih memiliki kuasa (dari sisi politik, keuangan maupun hukum) dibanding mereka yang jadi terlapor.”

Damar Juniarto dari SAFENET menyatakan opininya, “Yang pertama-tama apa yang terjadi di Gowa itu menyedihkan. Mendengar narasi dari ibunya Fadli terasa sedih sekali karena persoalannya sebetulnya sederhana. Tidak pernah terjadi hal seperti ini–obrolan warung kopi–dalam periode-periode sebelumnya, tapi kemudian harus dipenjara.” Nukman Luthfi (Pengamat Media Sosial) menambahkan, “Selama ini, persepsi mengapa hukuman harus lebih keras daripada KUHP sampai 6 tahun penjara, itu karena ketakutan terhadap penyebarannya yang cepat di dunia media sosial.”

Sosok itu mengamini ucapan Nukman bahwa apa yang terjadi di grup itu sifatnya obrolan, bukan kritik. Kalau di twitter atau di FB bisa jadi kritikan karena terbuka ke semua orang. Ini yang harus dipahami. Begitu pula dengan masalah kekuasaan. Hampir semua kasus yang terjadi adalah bahwa pihak pelapor itu adalah yang memiliki kuasa, tidak sejajar. Padahal menurut Dedi Kurnia Syah (Universitas Telkom) yang hadir sebagai pembicara pada Diskusi “UU ITE dan Ancaman Kemerdekaan Berekspresi” di Common Room kemarin sore (25/2/2015) bahwa selama kritikan itu berkaitan dengan tugas sang penguasa maka tidak layak untuk dilaporkan karena sifatnya memberi masukan. Itu pula yang dilakukan Ridwan Kamil dalam mengurus Kota Bandung, terus mensosialisasikan penggunaan media sosial untuk mendapatkan masukan dan kritikan sebanyak-banyaknya. Artinya, hal itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Terkecuali jika sudah masuk ke ranah pribadi. Bahkan, mayoritas pengaduan sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tidak sampai ke ranah hukum.

Media sosial adalah cyber society, ini adalah kumpulan dari banyak orang yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Semua orang sudah terhubung meskipun berbeda kota dan negara. Dengan begitu, sebenarnya tidak ada lagi ruang pribadi di sana. Semuanya adalah ranah publik, meski itu di grup yang diproteksi sekalipun. Presentase kasus UU ITE tahun 2008-2014 ada 33% yang dalam proses pengadilan, 21% sudah dimediasi, 13% diputuskan bersalah, 4% dibebaskan, dan 29% tidak jelas. Dari semua kasus itu, rata-rata pelapor hanya ingin memberikan efek jera sehingga ‘hanya’ dipenjara selama 20 hari sebagai bagian dari proses penyidikan. Akan tetapi efek sosialnya luar biasa karena manusia adalah makhluk sosial yang bertetangga, berteman, dan bekerja. Ini yang harus dipahami.

Ingat! UU ITE digunakan untuk memukul atau menekan seseorang yang tidak disukai. Seseorang yang punya kuasa akan berusaha mencari celah, meski kecil, agar orang yang tidak disukainya dapat dihukum/dipenjara. Jadi, berhati-hatilah berhubungan dengan media sosial. HP atau gadget di tangan Anda sudah berubah. Ia bukan lagi telepon yang hanya bisa digunakan untuk menelepon atau sms saja, tetapi telah menjadi koran atau majalah yang bisa dibaca oleh banyak orang. Berhati-hatilah memasang status atau berkomentar karena ada juga yang masuk penjara hanya karena berkomentar di status atau di blognya. Beberapa kasus UU ITE berdasarkan media sosialnya, 49% terjadi di FB, 21% terjadi di twitter, 5% terjadi di dunia blogging, 6% di BBM/Line, dan sisanya berasal dari yang belum disebutkan misalnya dari SMS.

Ada kasus yang lebih aneh lagi, terjadi di Jogja. Seorang wanita yang dalam proses perceraian mengubah statusnya dari married ke single. Tak lama kemudian ia punya pacar baru dan mengubah lagi statusnya darisingle ke married terhadap pacarnya itu. Sang suami tidak terima karena ini masih proses perceraian, belum benar-benar bercerai. Ia pun menuntut istrinya itu dan akhirnya sang wanita terbukti bersalah dan dipenjara selama 4 bulan. Ini adalah kasus yang aneh hanya karena UU ITE. UU ini sebenarnya ditujukan pada cyber crime saat transaksi elektronik seperti perjudian, pornografi, dan penipuan. Pencemaran nama baik itu sebenarnya adalah titipan. Pertanyaannya, “Siapa yang berkepentingan?”[]

Sumber: Catatan Bang Aswi