[Rilis Pers] Aking Saputra Korban Persekusi Justru Ditetapkan Sebagai Tersangka

KORBAN PERSEKUSI JUSTRU DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA

Salah satu korban persekusi, Aking Saputra ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Karawang. Penetapan Aking sebagai tersangka itu tertuang dalam surat panggilan yang diterimanya pada 9 Juni 2017 lalu. Dalam surat itu tertulis, Aking diminta hadir di Polres Karawang Senin, 12 Juni 2017 sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan di media elektronik dan penodaan agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat 2 UU ITE dan pasal 156 a KUHP.

Kasus Aking berawal dari meluasnya informasi pada 19 Mei 2017, yang menyebutnya sebagai penista agama, karena sebuah postingan di facebook yang dibuat setahun sebelumnya. Dalam posting itu, Aking berdiskusi tentang komunisme yang diidentikan dengan ateisme, padahal keduanya adalah sistem yang sangat berbeda. Bahkan, tulis Aking di status itu, dalam sejarah ditemukan pula adanya pemuka agama yang menganut ideologi tersebut.

Beberapa orang yang mengaku tersinggung dengan status Facebook itu melakukan teguran pada Aking, dan dibalas dengan permintaan maaf Aking di Facebook dan media cetak setempat. Tidak hanya itu, Aking juga telah bertemu dengan pemuka agama setempat untuk membicarakan hal itu, sembari menjelaskan tidak ada niat sedikit pun darinya untuk menghina agama tertentu. Meski demikian, Aking tetap dilaporkan ke Kepolisian Karawang oleh sekelompok orang, dan dianggap menghina agama tertentu.

Dari kronologi kasusnya, setidaknya ada enam (6) kejanggalan:

1. Status Aking di Facebok dibuat setahun lebih, atau sekitar Mei 2016, sebelum akhirnya diviralkan kembali pada 19 Mei 2017. Sebelumnya, tidak pernah ada penafsiran bahwa status itu menghina agama tertentu.

2. Melihat pola yang terjadi, Aking adalah korban. Ia mengalami pola yang sama dengan 67 korban lain yang ditemukan oleh Koalisi Anti Persekusi. Tanda-tanda persekusi terlihat sebagai berikut:
a. Adanya track down dari orang-orang yang dianggap menghina ulama/agama;
b. Mengambil postingan lama, mengeditnya termasuk menambahkan foto kemudian memviralkannya.
c. Membuka identitas korban ke publik dan menyebarkannya
d. Adanya instruksi untuk memburu target dengan kekerasan/ancaman kekerasan. Dalam beberapa kasus, penggeredukan dengan kekerasan/ancaman kekerasan terjadi
e. Menuntut permintaan dan membawanya ke kepolisian, kemudian diviralkan. Dalam beberapa kasus juga, tim Koalisi melihat adanya penargetan pada suku dan agama minoritas, dengan adanya pencarian postingan yang sangat lama, maupun membuat akun palsu. Hal ini membuktikan adanya kesengajaan untuk menargetkan beberapa kelompok untuk memperluas persekusi.

3. Pelaku persekusi kepada Aking tidak diproses hukum.

4. Pelapor kasus Aking kepolisi, Sukur Mulyono, adalah orang yang sama yang menyarankan Aking membuat surat permintaan maaf di koran. Laporan ke polisi dibuat di hari yang sama dengan munculnya permintaan maaf Aking di media cetak.

5. Proses hukum kasus ini tergolong cepat. 1 hari setelah pemeriksan saksi & ahli keluar surat panggilan untuk Aking. Hanya 4 hari setelahnya Aking kembali dipanggil sebagai saksi. Dan 2 hari kemudian polisi mengeluarkan surat panggilan Aking sebagai tersangka

6. Handphone dan kartu telepon milik Aking disita polisi, saat kasus itu masih dalam status penyelidikan.

Proses penyidikan kasus Aking membuktikan gagalnya polisi membedakan antara “diskusi” dan “penodaan agama”. Hal itu melanggar asas hukum pidana yang berbunyi ultimum remedium yang berarti “penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum”.

Kasus ini juga membuktikan adanya pasal “karet” dalam UU ITE dan pasal penodaan agama yang sangat multitafsir, dan rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisaskan seseorang.

Untuk itu tim Koalisi menyatakan:
1. Mendesak kepolisian untuk menghentikan proses penyidikan Aking Saputra.
2. Mendesak memroses pelaku persekusi pada Aking Saputra.

Jakarta, 11 Juni 2017
Koalisi Anti Persekusi