[Rilis Pers] Tidak Ada Unsur Pidana Dalam Investigasi Ilmiah Ravio Patra

Tidak Ada Unsur Pidana Dalam Investigasi Ilmiah Ravio Patra, Tuntutan Dengan UU ITE Harus Dihentikan

Upaya Ravio Patra, peneliti dan pemerhati masalah sosial, dalam mengungkap kebenaran untuk kepentingan publik tidak bisa dituntut dengan pidana pencemaran nama pasal 310-311 KUHP maupun pasal 27 ayat 3 dan pasal 36 UU ITE.

 

Jakarta, 21 Agustus 2017 – Ravio Patra, seorang peneliti dan pemerhati masalah sosial yang bekerja sebagai perencana/strategis di sebuah media massa internasional di Jakarta, terancam oleh pasal pencemaran nama setelah dilaporkan oleh Wempy Dyocta Koto, seorang motivator bisnis, ke polisi pada tanggal 21 Juni 2017. Berdasarkan Laporan Polisi Nomor: SP.Dik/475/VIII/2017/Dit.Reskrimsus Ravio Patra diperkarakan karena menurunkan sebuah tulisan di laman Facebook-nya pada tanggal 27 Mei 2017. Dalam tulisan tersebut, Ravio Patra menuliskan penelusurannya tentang kebenaran atas klaim yang kerap disampaikan Wempy Dyocta Koto secara inkonsisten di pelbagai media.

Selain mencantumkan tulisan hasil investigasinya, Ravio juga mencantumkan bukti hasil pencariannya dalam bentuk screenshot berbagai sumber penelusurannya di bagian bawah postingan tersebut. Bukti-bukti ini disertakan karena Ravio ingin menunjukkan bahwa hasil penelusurannya itu bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diuji keabsahannya.

Maksud dari Ravio menuliskan penelusuran ini untuk memeriksa dan meluruskan pelbagai klaim inkonsisten yang sering ditulis oleh Wempy Dyocta Koto dalam profil mengenai dirinya dan agar publik bisa secara jelas mengetahui kebenaran dari klaim-klaim tersebut.

Keesokan harinya, Wempy Dyocta Koto merespon tulisan Ravio Patra dengan menyampaikan beberapa klarifikasi di kolom komentar Facebook tersebut. Tidak puas dengan klarifikasi, Wempy Dyocta Koto mengirimkan somasi (peringatan) tertulis kepada Ravio Patra melalui kuasa hukumnya pada tanggal 7 Juni 2017 yang berisi Ravio telah melakukan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan mendesak Ravio untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Wempy Dyocta Koto.

Pada tanggal 16 Agustus 2017 lalu, Ravio sudah dipanggil dan diperiksa oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya dengan status sebagai saksi atas dasar dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik. Selain dikenakan pasal pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP juncto Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Ravio juga dikenakan pasal pencemaran nama baik yang mengakibatkan kerugian bagi pelapor (pasal 36 UU ITE) yang ancaman pidananya maksimal penjara 12 tahun (pasal 51 ayat 2 UU ITE). Dengan ancaman pidana tersebut, Ravio bisa ditahan sewaktu-waktu.

Yang terjadi pada diri Ravio Patra jelas adalah ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia. Padahal konstitusi dan perundang-undangan negara Indonesia secara jelas memberi perlindungan kepada apa yang disampaikan oleh setiap warga negaranya, terlebih bila motivasi dasarnya bukanlah untuk melakukan tindakan pencemaran nama, melainkan upaya untuk memeriksa dan mengungkap kebenaran demi kepentingan publik.

Dalam pasal 28 F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah tertulis jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapat, bunyinya: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dan dalam pasal pencemaran nama di KUHP disebutkan tindakan yang tidak dapat dihukum, apabila tuduhan itu dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.

Maka apa yang disampaikan oleh Ravio Patra di laman Facebook pribadinya dengan memeriksa dan menelusuri klaim Wempy Dyocta Koto secara ilmiah merupakan tindakan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan, serta jauh dari unsur-unsur pencemaran nama baik seperti yang dituduhkan.

Oleh karena itu, SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network dan Yayasan IBU mendesak:

1. Upaya hukum yang dilakukan oleh Wempy Dyocta Koto sebaiknya segera dihentikan agar iklim kebebasan ekspresi di Indonesia tidak terus-menerus terongrong oleh upaya pemidanaan lewat pasal pencemaran nama.

2. Para pihak yang berperkara untuk sekali lagi menempuh penyelesaian di luar pengadilan untuk mencari solusi terbaik.

3. Pihak kepolisian untuk menghentikan perkara ini karena tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam tindak pidana pencemaran nama.

4. Publik untuk mengawasi dan mengawal kasus Ravio ini agar tidak lagi jatuh korban warganet yang dijerat oleh pasal karet pencemaran nama dalam sistem hukum di Indonesia.

 

Jakarta, 21 Agustus 2017