Laporan Kegiatan Bulan #AmanInternetan LSPR Jakarta: Keamanan Digital dan Cara Bijak Menggunakan Media Sosial

Internet bagai pedang bermata dua, berguna sekaligus berbahaya. Entahlah, apakah istilah tersebut cocok untuk mendefinisikan internet di era sekarang. Dunia memang cepat berubah, era 1.0; para produsen hanya berpikit untuk menjual produk, era 2.0; para produsen mulai berpikir untuk membuat konsumen loyal dengan banyak program, era 3.0; para produsen membuat langkah untuk berdampak baik bagi lingkungan, dan kini era 4.0; para produsen menggunakan cara-cara cerdas melalui aplikasi teknologi. Maraknya berita bohong, pesan kebencian, bahkan konten yang isinya diplintir, membuat publik resah.

Sebuah pertanyaan besar timbul, “Masih amankah internet bagi kita?”. Rangkaian kegiatan “Bulan Aman Internetan” berusaha menjawab pertanyaaan besar tersebut. Dimulai dari London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, sebuah sekolah yang fokus pada isu-isu komunikasi, menjadi tempat yang tepat untuk mengirimkan pesan, bahwa semua pihak harus memiliki niat bersama membuat ranah digital di Indonesia lebih aman.

Dalam pengantar pembukaaan kegiatan, Executive Dean LSPR Jakarta, Ibu Janette Pinariya mengatakan, “Di tengah arus kecepatan informasi, banyak bermunculan berita hoax, menjadi tantangan untuk menjawab apakah keamanan, kebenaran, dan privasi diabaikan di era media sosial. Netizen perlu sadar akan berinternetan yang sehat, karena bukan sekadar tanggung jawab, tetapi etika dalam berinteraksi sebagai masyarakat komunikasi.

Sebagai pemapar pertama, Indriyatno Banyumurti (ICT Watch), menjelaskan mengenai “Privasi dan Perlindungan Data”. Diawali dengan mengingatkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia seperti dinyatakan dalam pasal 28(G) ayat 1, UUD 1945. Publik harus sadar bahwa data pribadi sensitif. Dalam rancangan UU Perlindungan Data Pribadi dinyatakan bahwa privasi adalah hak individu untuk menentukan apakah data pribadi akan dikomunikasikan atau tidak kepada pihak lain. Jika publik tidak memperhatikan dengan seksama perihal data pribadi, sesungguhnya publik bukanlah konsumen sebuah produk, melainkan publik adalah produk yang dijual. Contoh paling mudah adalah swafoto (selfie). Lokasi swafoto atau dengan siapa kita melakukan swafoto adalah beberapa data awal yang dengan mudah bisa diakses oleh siapapun. Sebagai pemantik, Banyu mengatakan, “Penyedia aplikasi kerap melanggar privasi kita, terlebih jika kita tidak membaca terms and conditions”.

 

Agung Yudha (Twitter Indonesia), menyambung dengan “Ketika meng-install aplikasi, kita perlu membaca terms and conditions-nya, jika dianggap terlalu panjang, setidaknya pahami bagian privacy and security”. Perihal keamanan di ranah digital dihubungkan dengan maraknya hoax di halaman media sosial kita. Saat menggunakan Twitter, sebagai contoh, ada mekanisme yang ditawarkan untuk membendung hal-hal aneh di halaman media sosial kita. BRIM (Block-Report-Ignore-Mute) adalah sebuah cara untuk pengguna memverifikasi sebuah informasi. Twitter juga telah menempatkan akun-akun yang bisa digunakan untuk cek fakta sebuah informasi dengan tanda centang biru. Media sosial bersifat egaliter sehingga semua orang memiliki kuasa untuk berbagi informasi. Menghindari pertengkaran di media sosial juga penting, jangan jadi perpanjangan pesan pelaku penyebar pesan yang tidak bisa diverifikasi, jangan membuat orang jahat menjadi terkenal.

 

Narasumber terakhir adalah Ryan Rahardjo (Google Indonesia). Sebagai mesin pencari yang telah menjadi sebuah kata kerja, googling, Google memiliki beberapa cara untuk memverifikasi konten, cara pertama adalah menggunakan tanda petik. Cara kedua adalah menggunakan metode advanced search untuk mendapatkan hasil pencarian informasi yang lebih akurat. Cara ketiga melalui image search atau reversed image untuk informasi gambar atau foto. Bahkan informasi geo-tagging pun bisa dicek kebenaran lokasi suatu data atau informasi. Tanggung jawab yang lebih juga ada di tangan para jurnalis maupun kantor berita. Perangkat yang bisa digunakan ada pada Google News Lab. Verifikasi berulang menjadi kebutuhan tersendiri, jika tidak, berita yang diinformasikan kepada publik bisa menjadi “bom waktu” yang bisa meledak kapanpun, menghasilkan sebaran informasi palsu yang bisa berpengaruh terhadap banyak aspek di sebuah negara, seperti aspek keamanan karena menimbulkan keresahan publik.

Mengutip Andrew Keen dalam bukunya “The Cult of The Amateur: how today’s internet killing our culture”, bahwa di masa kebebasan menyebarkan pesan dan kebebasan beropini, banyak orang tidak menjadi bijak dengan memanipulasi opini sehingga menimbulkan debat publik yang dasarnya informasi palsu dan bisa menjadi kebenaran Pilihan ada di tangan kita, menjadi orang yang bijaksana di ranah digital atau menjadi orang yang bikin resah dengan menyebarkan informasi yang tidak terverifikasi dengan baik. Mari menjadi lebih cerdas di ranah digital.

 

Boaz Simanjuntak
Relawan SAFEnet Jakarta