Laporan Kegiatan Bulan #AmanInternetan Pontianak: Menjegal Mata-Mata di Kantong Kita

Akun Facebook seorang pria muda terpampang di dinding Galeri Seni Canopy Center, Pontianak, Kalimantan Barat. Ada lima puluh pasang mata, mengamatinya. Ruangan yang panas, namun wajah-wajah mereka yang berada didalamnya masih bersemangat. Empat buah kipas serta dua pendingin ruangan portable, tak banyak membantu agaknya.

Peserta kegiatan Bulan Aman Internetan di Canopy Indonesia, Pontianak

 

“Ada orangnya di ruangan ini?” tanya Anton Muhajir, relawan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). Anton adalah mentor dalam Digital Security Workshop. Perawakannya kecil, dengan rambut dipangkas pendek. Jeans dan kaus oblong hitam membalut tubuhnya. Sontak ruangan riuh. Akun yang dibuka adalah milik seorang blogger di Pontianak. Data-data pribadinya pun terpampang.

Sedemikian mudah, data diri seseorang terbuka di dunia maya. Tanpa disadari, semua data yang diisi saat membuat akun di media sosial dimiliki oleh perusahaan pembuat aplikasi tersebut. Data yang terserak di dunia maya ini bahkan sangat privacy. Sebut saja, tanggal lahir, nomor telepon, nomor KTP, alamat rumah, alamat kantor, bahkan lokasi terkini si empunya data. “Jika kita bertemu orang asing. Tentu segan menanyakan hal yang privacy. Tetapi hal ini, malah dengan mudah di dapat di internet,” tukas Anton.

Tak usahlah jauh-jauh mengira data tersebut dapat ditelusuri oleh seseorang dengan niat jahat. Orang yang tertarik dengan lawan jenisnya pun pasti mencari informasi gebetannya di media sosial. Bahkan, dengan melihat dan mengetahui secara detil apa yang dilakukan seseorang di media sosialnya, terkadang seperti sangat mengenal orang tersebut. Padahal, bisa saja bertemu langsung pun tak pernah. Kini orang bahkan dengan mudah memberitahukan pada jejaring media sosialnya, apa yang mereka lakukan waktu demi waktu.

Menyinggahi tempat tertentu pun, tak sedikit yang mengunggahnya di media sosial dengan mencantumkan lokasi detil. Lokasi menjadi lebih akurat, karena platform media sosialnya menambahkan GPS. Belum lagi terhitung, jika pemilik akun membagikan semua apa yang ada di kepalanya dengan membuat status di media sosial.

Tapi, apa sebenarnya data itu? Anton menjelaskan, data adalah informasi dalam bentuk digitalyang bisa diproses atau dikirimkan. Ia mengklasifikasikan data berdasarkan wadahnya. Di email, merupakan data pertama kali terhimpun saat mendaftar. Di instagram, adalah jenis data yang dibuat. Di Twitter adalah data yang kita bagi, di Facebook adalah data perilaku, sedangkan di YouTube adalah data yang disimpulkan. “Sekali keluar, susah dikendalikan,” imbuh Anton. Peserta pun mengamini.

Literasi Digital warga Indonesia belum lah tinggi. Belum banyak yang ngeh bahwa untuk menghilangkan jejak di dunia maya, masih lebih mudah menghilangkan coretan di kertas. Padahal warga banyak mengunggah foto, video dan informasi di sana. Semakin banyak informasi yang diberikan di dunia maya, semakin banyak pula data diri kita tersimpan di internet dan berpotensi disalahgunakan.

Telepon pintar kita, bahkan mungkin sekaligus mata-mata buat kita. Di sana tercipta data-data lokasi, saat kita mengaktifkan GPS, atau saat kita terhubung dengan koneksi bebas internet, serta social media. Hal ini juga termasuk saat kita menggunakan mesin perambah. Setiap kunjungan atau transaksi dan pembayaran pun menyebabkan perusahaan mempunyai akses untuk mengingatkan jadwal kita terkini. Terlebih ketika akan menggunakan wifi free publik.

Koordinator Masyarakat Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (Mafindo) Kalbar, Ema Rahmaniah menerangkan penyebaran berita yang tidak benar atau hoax maupun ujaran kebencian harus dicegah secara bersama-sama.

 

Sesi berikutnya, koordinator Masyarakat Anti Fitnah, Hasut dan Hoax (Mafindo) Kalbar, Ema Rahmaniah menerangkan penyebaran berita yang tidak benar atau hoax maupun ujaran kebencian harus dicegah secara bersama-sama dimulai dari kesadaran dini untuk memerangi konten-konten yang berbau berita palsu yang diakuinya marak beredar. Untuk alasan politis, data ini digunakan untuk adu domba.

“Bahkan Indonesia menyukai berita-berita bohong seperti itu. Ini menimbulkan pertanyaan besar kita, mengapa bisa seperti itu karena ini sangat berbahaya. Seharusnya kita menolak ini malah menyukai informasi-informasi seperti itu,” jelas Ema Rahmaniah, koordiantor Masyarakat Anti Fitnah Kalimantan Barat. Ketika Ema menyebutkan nama organisasinnya, peserta ada yang tidak kuasa menahan tawa.

Dosen Fisip Untan ini menyatakan gerakan literasi media pun rendah. Literasi yang rendah menjadi salah satu penyabab mengapa masyarakat Indonesia cenderung menyukai informasi bernada hoax tersebut. Data statistik Unesco menyebutkan dari 61 total negara, Indonesia menempati urutan ke 60.

Makanya edukasi literasi internet sehat itu penting, untuk mengaktifkan pemahaman masyarakat bahwa hoax itu harus dilawan, bukan disebarkan segera sesaat setelah membaca judul tanpa mengkroscek kebenaran berita itu. Kebanyakan seperti itu, padahal sebelum kita tahu kebenarannya, jangan diteruskan karena akan memberikan pendidikan informasi yang salah. Ini juga rentan perpecahan,” paparnya.

Sementara di Kalbar, adanya berita hoax dinilai sanat berpotensi membuat gaduh, memecah belah peersatuan ditengah masyarakat yang beragam. “Kita harus bersama-sama untuk memerangi hoax ini,” ucapnya.

Jane Aileen, dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) mengatakan, saat ini Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) sudah mengatur secara hukum pasal tentang ujaran kebencian dan hoax. “Ada juga Undang-Undang khusus yang mengatur tentang rasial, propanganda, streotip yang dibiarkan begitu saja bisa ditindak tegas oleh negara. Negara punya kuasa untuk mengatur persoalan hukum ini dan negara harus hadir karena konten-kontennya mampu mengadu domba,” katanya.

Diakuinya, masih ditemukan sejumlah akun media sosial masih yang mengandung ujaran kebencian dan hoax. Ironisnya, banyak aparat hukum yang tidak terlalu paham terhadap Undang-Undang tersebut sehingga salah mempersepsikan mana akun yang harus ditindak dan mana yang tidak. “Lantas dilemanya Undang-Undang ini menjadi pembatas ekspresi, pasal karet untuk memidanakan orang, terutama akun pemilik medsos yang melakukan kritik yang tidak juga bisa disebut ujaran kebencian, ada perbedaannya. Maka aparat juga harus paham aturan mainnya seperti apa,” jelas Jane.

Untuk mencegah agar tidak terjadi salah persepsi berita bohong dan tidak, maupun ujaran kebencian, persekusi maupun hal tidak menyenangkan terkait penggunaan internet, dia menyarankan agar pengguna lebih bijak dan berhati-hati dalam setiap postingan.

“Lebih baik kita menahan diri untuk menulis hal-hal yang membuat marah kita, terlalu pribadi sifatnya, membully seseorang karena ketika sudah di post dalam status maka tidak bisa dicabut. Meskipun di delete, jejak digitalnya akan ada. Tidak bisa hilang. Semua tergantung kita, karena hape dan jari miliki kita, jadi kitalah yang mengarahkan ke mana semua itu,” pungkasnya.

 

Aseanty Pahlevi
Relawan SAFEnet Pontianak