[Rilis Pers] Pemaksaan Permintaan Maaf Tempo Oleh FPI Menyalahi Kebebasan Pers dan Berekspresi

Persekusi dan intimidasi dalam bentuk demontrasi yang dilakukan oleh Front Pembela Islam pada Jumat, 16 Maret 2018 terhadap Majalah Tempo telah menimbulkan keprihatinan semua pihak yang memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi di Indonesia. Peristiwa itu menunjukan lemahnya perlindungan hukum. Bila hal ini dibiarkan, dikhawatirkan muncul organisasi lain yang akan menjadi pelaku-pelaku baru, karena merasa mendapatkan justifikasi atau pembenaran untuk menduplikasi tindakan serupa. Kami memandang persekusi dan intimidasi ini, bukan hanya sebagai ancaman kepada Majalah Tempo, tetapi merupakan ancaman nyata kepada semua media yang kritis di Indonesia.

Yang dilakukan Majalah Tempo adalah sebuah kegiatan jurnalistik yang dilindungi undang-undang dan konstitusi. Khususnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 28 F UUD 1946 dan sesuai dengan fungsi pers, bahwa pers adalah lembaga kontrol yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia serta menghormati kebhinekaan.

Seharusnya, jika salah satu pihak atau kelompok ada yang keberatan atau dirugikan dengan sebuah karya jurnalistik mekanismenya adalah menempuh jalur sengketa jurnalistik dengan memberikan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana dalam Pasal 4 UU Pers atau mengadukan media atau karya jurnalistik tersebut kepada Dewan Pers. Karena Dewan Pers lah yang berhak menilai dan memiliki kewenangan menilai apakah sebuah karya jurnalistik tersebut telah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak.

Meskipun demonstrasi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi juga undang-undang. Namun dengan niat “menduduki”, orasi yang mengandung ujaran kebencian atau hate speech kemudian memaksa untuk mengakui kesalahan, intervensi ruang redaksi dan berbagai bentuk intimidasi lainya adalah hal yang tidak dibenarkan oleh hukum. Sehingga jika itu terjadi, aparat penegak hukum sudah sepatutnya bertindak demi melindungi Pers, karena melindungi kemerdekaan pers sama saja melindungi wujud kedaulatan rakyat.

Peristiwa ini juga menjadi bukti maraknya aksi-aksi organisasi masyarakat sipil yang mengusung kebenaran dan tafsir tunggal menurut mereka sendiri dan melakukan cara-cara pemaksaaan dan intimidatif merupakan wujud otorianisme yang harus dilawan oleh semua pihak yang menghendaki Indonesia negara hukum yang berkeadilan.

Menghadapi fenomena itu, sebaiknya Kepolisian Republik Indonesia mengambil sikap lebih proaktif melakukan langkah langkah perlindungan hukum kepada warga negara, agar tidak ada pihak-pihak yang melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum, karena telah menjatuhkan vonis bersalah kepada Media atau seseorang yang berbeda pandangan dengan mereka, sebelum proses hukum dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum

Oleh karena itu, Kami menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Menuntut kepada Presiden Joko Widodo untuk bersikap tegas untuk membela kemerdekaan pers dan berekpresi.
2. Menuntut kepada semua pemimpin politik untuk memiliki rasa tanggungjawab dan toleransi dalam kehidupan bernegara.
3. Menuntut Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan perlindungan hukum kepada Pers dan Media yang merupakan pilar demokrasi ke-empat untuk memastikan mereka mendapatkan situasi yang kondusif sehingga media dapat bekerja secara independen.
4. Menghimbau kepada semua pihak yang merasa memiliki keberatan terhadap karya jurnalistik atau karya artistik, untuk tetap menghormati kemerdekaan pers dan berekspresi dengan cara menempuh penyelesaian sengketa pers, sebagaimana diatur dalam UU 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Jakarta, 21 Maret 2018

Hormat Kami
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Persekusi Media

Nawawi Bahrudin (Direktur Eksekutif LBH Pers)
Asfinawati (Ketua YLBHI)
Yati Adriani (Koordinator KontraS)
Abdul Manan (Ketua Umum AJI Indonesia)
Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia)
Damar Juniarto (Regional Coordinator SAFEnet)