Laporan Kegiatan SAFEnet di Pekan Komunikasi Universitas Indonesia 2018

Kalau searching bareng di Google, dengan keyword yang sama, kenapa hasil pencariannya bisa berbeda urutan? Apakah Google Search melacak ketertarikan penggunanya?

Kira-kira demikian sebuah pertanyaan terlontar oleh salah satu peserta sesi Coaching Clinic: Reporting Problematic Post on Twitter, Google, and Facebook. Sesi yang berlangsung pada Senin, 16 April 2018 ini merupakan acara lanjutan Bulan Aman Internetan yang dimotori SAFEnet dan berlangsung Februari silam, bekerja sama dengan Pekan Komunikasi (Pekom) Universitas Indonesia yang tahun ini mengambil tema “Trick or Truth: Welcome to the Post-Truth Era” dan berlangsung dari 16-20 April 2018.

 

Pekan Komunikasi dibuka dengan acara bincang-bincang bertema Freedom of Speech is Overrated, dengan lima pembicara yang mewakili berbagai latar belakang dan sudut pandang. Dimoderatori Cania Citta Irlanie, talkshow ini membahas tentang kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia saat ini sehubungan dengan peredaran hoaks yang marak di media sosial dan banyaknya kasus-kasus yang menggunakan UU ITE, terutama terkait Pasal 27 Ayat 3 tentang defamasi dan Pasal 28 Ayat 2 terkait penistaan agama.

 

Is freedom of speech overrated?

Di hadapan lebih dari 230 mahasiswa yang menjadi peserta acara, Kombes Asep Safrudin sebagai Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber dari Bareskrim Polri, menyebutkan bahwa polisi sebagai penegak hukum memantau media sosial yang ramai digunakan di Indonesia, karena apa yang terjadi dunia online turut tumpah ruah ke dunia offline atau dunia nyata. Hal ini disetujui oleh Ezki Suyanto, dosen tidak tetap jurusan Komunikasi UI. Ezki menyoroti media convergence yang terjadi,  yaitu bagaimana saat ini berbagai jenis media penyaluran ekspresi digabung menjadi satu dan dapat diakses dengan mudah oleh berbagai pihak, seperti yang terjadi pada media sosial. Ia memberikan contoh bagaimana media sosial mempengaruhi hal-hal di dunia nyata, misalnya profiling yang dilakukan terhadap pemohon visa. Di sisi lain, ia juga menyoroti pasal-pasal karet UU ITE yang seringkali digunakan untuk perkara-perkara yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan klarifikasi dan permintaan maaf, atau sanksi perdata. Menurutnya, harusnya kasus-kasus seperti itu diselesaikan secara perdata saja dari pada ditindakpidanakan.

 

Senada dengan Ezki, Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif ELSAM, melemparkan pertanyaan: apakah regulasi yang berlaku sekarang sudah ideal dan produktif? Ia menyinggung peran pemerintah dalam penerapan sebagian UU ITE untuk menjawab kontestasi yang terjadi di dunia maya antar para pengguna media sosial. Wahyu berkomentar, UU ITE terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi harusnya bisa dikenakan sanksi non-pidana.

 

Donny Budhi Utoyo sebagai Ko-Inisiator SAFEnet menimpali tentang perilaku kolektif, perilaku anonim, perilaku ruang gema, dan perilaku komunikasi. Keempatnya harusnya turut menjadi pertimbangan dalam pembuktian perkara-perkara UU ITE di pengadilan. Ia menyampaikan bahwa media sosial yang utamanya terdiri dari teks-teks dialog mati tanpa gestur dan intonasi yang berpengaruh besar dalam penyampaian komunikasi telah menghilangkan konteks tuturan sehingga terjadi banyak kesalahpahaman, yang berimbas pada penggunaan UU ITE. Donny juga memberikan sudut pandang mengenai anonimitas yang ada di media sosial. Menurutnya, anonimitas seperti pisau bermata dua, bisa digunakan seseorang untuk menghindari hambatan-hambatan dalam berekspresi yang akan timbul kalau menggunakan identitas asli, seperti yang terjadi pada kelompok rentan, atau anonimitas bisa disalahgunakan sebagai cara untuk menghindari tanggung jawab.

 

Zulfikar Akbar, mantan jurnalis Topskor yang mengalami intimidasi dalam bentuk persekusi, turut berkomentar tentang anonimitas. Baginya, dalam hidup di media sosial, menggunakan identitas sebenarnya lebih baik, karena secara tidak langsung, dengan menjadi diri yang sama di dunia online dan offline, seseorang akan menjadi lebih bertanggung jawab dalam bermedia sosial. Selain itu, Zulfikar juga menekankan untuk tidak melawan victimized diri atau mental korban. Penting melakukannya agar pelaku intimidasi atau persekusi tidak makin semena-mena. Pada akhirnya, tidak mudah menjawab dengan lugas apakah dengan keberadaan internet dan media sosial telah membuat kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang berlebihan.

Jangan Asal ‘Agree’

“Terms of Service” adalah kontrak antara pengguna media sosial dengan media sosial yang ia gunakan. Itulah yang ditegaskan Agung Yudha selaku Head of Public Policy Twitter APAC untuk Indonesia dan Malaysia. Untuk itu, para pengguna harus memahami persetujuan yang akan atau sudah disetujui pengguna. Dengan membaca, pengguna akan paham mengenai apa yang sudah menjadi haknya sebagai pengguna, dan hal-hal seperti peraturan penggunaan dan pengaturan privasi.

 

Media sosial pada dasarnya adalah medium untuk orang-orang mengekspresikan dirinya. Dalam melakukan hal itu, senada dengan yang disampaikan Donny BU, Ryan Rahardjo selaku Public Policy Senior Analyst Google Indonesia menyebutkan bahwa context is a king dalam bermedia sosial, tidak lagi sekadar konten. Maka dari itu, sebagai pertanggungjawaban Twitter maupun Google, Agung dan Ryan menjelaskan kehadiran mitra mereka untuk memberikan pemahaman dan konteks atas yang terjadi dalam platform mereka.

 

Twitter misalnya, menggandeng mitra ECPAT Indonesia, Wahid Institute, ELSAM, YCAB, dan ICT Watch untuk Trust and Safety Council, yaitu program dari Twitter untuk terus berbenah, terutama terhadap konten-konten pelanggaran yang hadir di platform mereka, seperti kekerasan dan ekstremisme, eksploitasi seksual terhadap anak. Google pun melakukan hal serupa dengan menggandeng individual atau mitra yang terpercaya, seperti Mafindo, untuk menjadi Trusted Flagger, yaitu mereka yang dipercaya untuk menggunakan mekanisme pelaporan berupa flagging dalam produk-produk Google, seperti YouTube. Pada intinya, seperti kata Ryan: berinternet yang lebih baik harus dimulai dari sendiri. Kamu setuju?

Penulis: Ellen S. Kusuma, Relawan SAFEnet Jakarta