Laporan Lokakarya Building an Informed Community: Principles for Cross-Sector Collaboration in Southeast Asia

Persoalan disinformasi tengah menghinggapi dunia saat ini. Di Asia Tenggara, persoalan ini kental didorong kepentingan-kepentingan politik. Pemerintah menggunakan disinformasi sebagai alasan untuk membungkam kritik. Sementara di beberapa negara lain, pemerintah menggunakannya untuk membenarkan tindakan mereka terhadap kejahatan kemanusiaan seperti yang terjadi di Myanmar.

Kontrol atas informasi, termasuk dalam hal ini disinformasi itu sendiri, menjadi problematis ketika dihadapkan pada kebebasan berekspresi. Di negara-negara seperti Filipina, Indonesia, dan Myanmar, disinformasi dan retorika kebencian memiliki konsekuensi serius terhadap terpolarisasinya opini publik. Di Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Singapura, di mana ada undang-undang yang membatasi kebebasan berekspresi, media sosial telah menjadi jalan baru bagi pemerintah untuk melakukan kontrol atas kebebasan.

Disinformasi online ini adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multi-pihak. Sementara upaya mengatasi tantangan ini terfragmentasi. Dilema-dilema ini dibahas dalam lokakarya Building an Informed Community: Principles for Cross-Sector Collaboration in Southeast Asia yang digagas Lee Kuan Yew, School of Public Policy NUS dan Facebook APAC pada 2-4 Mei 2018. Kegiatan ini mengundang para pemangku kepentingan termasuk pembuat kebijakan, akademisi, penerbit, platform online, masyarakat sipil dan organisasi pemeriksa fakta untuk mengidentifikasi prinsip dan model yang dapat mendukung perlawanan terhadap disinformasi di seluruh Asia Tenggara.

Kegiatan ini dibuka dengan paparan tentang Online disinformation: Diverse manifestations, similar conundrums  dari Dr. Carol Soon,  Senior Research Fellow di Insititute for Policy Studies LKY. Menurut Carol, berita palsu, disinformasi dan misinformasi memiliki dampak di berbagai bidang. Mereka menimbulkan tantangan bagi keamanan nasional, ketertiban umum dan berisiko pada reputasi. Carol memberikan gambaran tentang berbagai pendekatan dan tantangan dalam menghadapi disinformasi dengan membaginya dalam tiga ekosistem informasi, yaitu misinformasi, disinformasi dan malinformasi.

 

Memahami ekosistem ini penting untuk memastikan tindakan penanganan yang tepat, alih-alih melakukan pembatasan-pembatasan yang berpotensi menghilangkan hak asasi manusia. Carol juga menjelaskan bahwa untuk menganalisis dan memetakan disinformasi dapat menggunakan metode 3P: the perpetrators , the public, dan the platforms. Dalam hal ini, Carol memetakan bahwa pelaku dapat bersumber dari pemerintah, polisi, organisasi dan individual yang memiliki kepentingan tertentu serta kelompok subkultur internet seperti kelompok-kelompok kebencian. Masyarakat yang memegang kepercayaan politik yang ekstrem, tereksklusi secara sosial, dan memiliki kepercayaan rendah terhadap institusi politik dan media massa juga berkontribusi bagi merebaknya disinformasi. Platform online seperti media sosial, instant messaging, forum-forum online dan situs berita palsu dapat menjadi sumber disinformasi. Secara praktis, Carol menyarankan publik menggunakan pendekatan 5 C’s – Content, Context, Communicator’s Identity, Communicator’s Intent and Consequence dalam merespon berita-berita tertentu.

Dalam sesi-sesi berikutnya, peserta diajak berdiskusi mengenai berbagai tantangan yang dihadapi pemerintah di Asia Tenggara, perusahaan (dalam hal ini Facebook) dan organisasi masyarakat sipil serta pengalaman di Uni Eropa yang dipaparkan oleh Prof. Robin Callendar Smith dari Queen Mary University of London. Para panelis sepakat bahwa masalah ini perlu jadi fokus bersama. Terlebih dalam satu sampai dua tahun ke depan, banyak negara Asia Tenggara akan menjalani Pemilu. Jangan sampai Pemerintah mulai mengeksploitasi kekhawatiran publik untuk meningkatkan kontrol negara atas komunikasi online, memperluas sensor dan pengawasan internet.

Pemerintah di Singapura saat ini tengah mempertimbangkan diambilnya langkah-langkah legislatif terkait disinformasi. Pada bulan Januari, parlemen bersuara bulat untuk membuat komite anggota parlemen yang akan fokus pada masalah disinformasi online yang disengaja. Namun bagaimanapun undang-undang baru ini berpotensi menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu akan semakin melumpuhkan kebebasan berekspresi yang sudah terbatas di negara tersebut. Di Kamboja, Presiden Hun Sen mengatakan bahwa media merupakan produsen “berita palsu” dan maka dari itu bersalah dan melanggar hukum. Para pendukung kebebasan pers khawatir bahwa undang-undang berita anti-palsu dapat mengakibatkan penghentian laporan publik terhadap pemerintahan Hun Sen.

RUU Anti-Berita Palsu Malaysia disahkan oleh Dewan Rakyat pada 2 April 2018. Regulasi ini dikhawatirkan dapat mengancam stabilitas politik negara dan melemahkan ketertiban umum dan keamanan nasional. Di Filipina, outlet media menghadapi ancaman serupa, dengan presiden Rodrigo Duterte mengancam untuk menutup situs berita yang sering kritis seperti Rappler dan secara teratur menuduhnya sebagai “sumber berita palsu”. Pemerintah Filipina menangkis kritik dengan memberi label media tertentu sebagai “berita palsu”.

Sementara di Indonesia, pihak berwenang telah secara aktif memblokir akun atau menghapus konten yang dianggap berbahaya bagi masyarakat. Google, Facebook, dan perusahaan media sosial bekerja dengan pemerintah untuk menangani penyebaran konten berbahaya, termasuk pornografi dan hoax dengan memblokir, menghapus, atau menandai konten tertentu. Kepolisian juga menindak tegas anggota Muslim Cyber Army (MCA), sekelompok yang dituduh menggunakan Facebook, Instagram dan Twitter untuk menyerang pemerintah dan memicu ekstremisme agama. Di Myanmar, Aung San Suu Kyi masih memanfaatkan “berita palsu” telah mengobarkan konflik atas krisis Rohingya.

Menurut Prof. Robin, Asia Tenggara dapat belajar dari Uni Eropa dalam merumuskan regulasi terkait melalui pendekatan co-regulation yang partisipatif, akuntabel dan transparan. Permasalahan-permasalahan ini dikupas secara dalam untuk mengetahui tindakan apa yang tepat dilakukan dalam konteks Asia Tenggara.

Alvin Nicola menerima sertifikat Lulus Lokakarya dari Lee Kuan Yew University, Singapore.

Di hari kedua, peserta diminta membentuk kelompok untuk membahas secara lebih terfokus terkait visi di masa depan. Kelompok membahas empat sub-tema yaitu (1) pendidikan, (2) deteksi dan respon, (3) norma dan pedoman dan (4) pelibatan komunitas. Masing-masing kelompok kemudian mempresentasikan analisi dan rekomendasinya, serta berdiskusi dengan kelompok-kelompok lain terkait kemungkinan-kemungkinan lainnya. Secara umum, diskusi sangat bersifat partisipatif.

Di akhir kegiatan, semua pihak mengapresiasi terselenggaranya forum ini. Alvin Tan dari Facebook juga mengemukakan bahwa hasil diskusi selama dua hari tersebut akan dibahas secara strategis dalam forum ASEAN Ministers Responsible for Information (AMRI) pada 8-11 Mei 2018. Merespon maraknya disinformasi di Asia Tenggara memang sangat penting dan diperlukan, namun menyusun pengaturan ini secara partisipatif, akuntabel dan transparan adalah kunci pengaturan ini tidak keluar dari prinsip hak asasi manusia dan due process of law.


ALVIN NICOLA

Relawan SAFEnet