Terancamnya Kebebasan Ekspresi di Internet Pada 20 Tahun Reformasi

Tepat 20 tahun lalu, pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai presiden di televisi. Kini sudahkah kebebasan berekspresi bisa dinikmati setiap warga negara? Ternyata hanya sebentar saja dan kebebasan ekspresi kembali dibatasi dan makin terasa mundur. 20 tahun setelah reformasi, ruang-ruang demokrasi terasa makin menyempit. Itulah kondisi kebebasan berekspresi hari ini.

Ketika internet mulai digunakan oleh gerakan prodemokrasi di Indonesia 20 tahun lalu, David T. Hill dan Krishna Sen menulis bahwa teknologi komunikasi seperti Internet memainkan peran sentral untuk menggulingkan kediktatoran Soeharto. 10 tahun pertama, internet tumbuh menjadi ruang yang subur bagi ekspresi apapun. Apa saja bisa kita temukan, tanpa batas. Pada 10 tahun kedua, regulasi mengenai internet diperkenalkan oleh negara.Sedari semula untuk mengatur informasi dan transaksi di internet, tapi kemudian pada praktiknya regulasi di internet ini digunakan untuk mengekang kebebasan ekspresi di Indonesia. Di kurun inilah ditandai dengan maraknya kriminalisasi warga sipil yang berekspresi. UU ITE pasal 27 ayat 3 – mengorbankan banyak warga sipil yang mengkritik penguasa, aktivis, jurnalis, whistleblower, lalu UU ITE pasal 28 ayat 2 lebih banyak digunakan untuk memenjarakan mereka yang mengaku atheis atau dari kelompok minoritas agama. Selain itu akibat tersebarnya hoax politik, terjadi pembungkaman ekspresi bari mereka yang dianggap menghina presiden dan lembaga pemerintahan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Lalu pasal 28 ayat 2 UU ITE digunakan untuk orang yang distigma sebagai penista agama / penghina ulama seperti pada masa persekusi Efek Ahok sampai sekarang.

Di paruh kedua ini juga terjadi pembatasan akses pada informasi yang tidak transparan mekanismenya dan tidak melalui due process of law, seperti yang diatur oleh peraturan menteri maupun pasal 40 UU ITE. Jangan lupa di paruh kedua ini monopoli akses internet dan pengabaian pemenuhan hak digital untuk Indonesia Timur masih terus terjadi.

Catatan lain adalah pada revisi UU ITE mencantumkan pasal 26 tentang Right To Be Forgotten (RTBF) / Hak Untuk Dihapus yang bila tidak hati-hati dirumuskan dalam peraturan pelaksanaannya akan sama saja dengan praktek sensor di internet yang berbahaya bagi kebebasan ekspresi.

Pada 10 tahun kedua ini, dari sisi keamanan online, terekam bagaimana internet dimanfaatkan oleh terorisme dan kelompok intoleran sejak 2004. Pada 13 – 20 Mei 2018 terjadi penangkapan setidaknya 7 orang yang dianggap mendukung terorisme, sekalipun unsur-unsur pidananya tidak cukup kuat.

Yang juga perlu dicatat bahwa baru pada 10 tahun kedua ini, mencuat persoalan penyadapan massal yang datang dari state-actor sebagaimana tercatat pada tahun 2013 dan 2015. Lalu oleh non-state actor dalam bentuk Surveillance Marketing (OTT) dan persekusi ekspresi (MCA). Jadi singkatnya, dalam 20 tahun reformasi, ruang demokrasi terutama kebebasan ekspresi di internet jelas menyempit.

Apa yang harus diwaspadai pada masa selanjutnya? Menurut saya, ini yang harus diantisipasi.

1/ Terbitnya aturan atau regulasi hukum mengenai Hoax/Fake News. Indonesia sedang berupaya mengikuti negara-negara seperti Jerman, Malaysia, Singapura yang telah memiliki aturan tentang persoalan hoax ini.

2/ Hidupnya kembali pasal-pasal destruktif seperti lese majeste, makar, COC pada Rancangan KUHP yang baru.

3/ Kemungkinan munculnya UU baru dalam waktu dekat, UU Siber atau UU Medsos.

#20TahunReformasi

Penulis: Damar Juniarto