[Rilis Pers] Banyak Kejanggalan Dalam Kasus Bu Saidah, SAFEnet Minta Pengadilan Tinggi Surabaya Bebaskan Ibu Saidah

Seorang ibu rumah tangga kembali menjadi korban pasal karet UU ITE. Ibu Saidah Saleh Syamlan, seorang ibu rumah tangga asal Surabaya, diputus bersalah karena telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik terhadap PT Pisma Putra Textile.

Pada sidang putusan yang dilakukan Selasa, 26 Februari 2019, Bu Saidah dijatuhi hukuman pidana penjara 10 bulan dan denda Rp5 juta subsider 1 bulan kurungan. Tuntutan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman 1,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE.

Sebenarnya kasus ini berawal pada 12 September 2017 saat kuasa hukum PT Pisma Putra Textile, Muhammad Bayu Kusharyanto melaporkan pemilik nomer 08135780800 ke kepolisian di Surabaya. Dalam laporannya, kuasa hukum PT Pisma Putra Textile, mempermasalahkan pesan Whatsapp dari nomor 08135780800 yang berbunyi: 

“bozz … piye iku pisma kok tambah ga karu2an ngono siih.” “Kmrn mitra tenun 100% stop total .. aku di tlp ni mereka”, “PPT stop juga … ga ono fiber piye paaak”, “Posisi saiki mitra podo kosong … ppt praktis total mandeg greg.. Yo opo pakk”

Pesan itu dikirim kepada Kepala Divisi Bank Exim Indonesia Komaruzzan dan Amerita General Manager Bank Negara Indonesia (BNI) Pusat, pada 26 Juni 2017 pukul 00:51 WIB. Isi Whatsapp tersebut dianggap berimbas pada proses pengajuan pinjaman perusahaan tersebut kepada pihak bank sehingga kemudian perusahaan mengajukan pelaporan karena merasa tercemarkan nama baiknya.

Dalam pengembangan penyelidikan, polisi menemukan nomer tersebut terdaftar atas nama ibu Saidah Saleh Syamlan. Kemudian ia dimintai keterangan dan kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. 

Meskipun dalam pemeriksaan di kepolisian dan persidangan, ibu Saidah Saleh Syamlan menyatakan nomer tersebut memang terdaftar atas miliknya, namun nomer itu sudah lama tidak ia gunakan.  Hal ini karena handphone miliknya rusak dan nomer tersebut sudah lama tidak bisa dipakai menelpon (diblokir). Ia juga tidak pernah mengirim pesan Whatsapp seperti yang dituduhkan, karena ia tidak mengenal kedua orang tersebut.

Sementara itu, yang ditunjukkan sebagai bukti adalah hasil tangkap layar semata beserta keterangan dari pihak provider tentang pengecekan pemilik nomer. Namun, tidak pernah dilakukan pemeriksaan forensik digital terhadap perangkat yang digunakan untuk mengirimkan pesan Whatsapp tersebut.

Atas kasus yang dialami Ibu Saidah ini, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara, menemukan sejumlah kejanggalan.

Pertama, tidak adanya alat bukti yang sah. Barang bukti berupa hasil tangkap layar bukanlah alat bukti yang sah dalam persidangan UU ITE. Pemeriksaan lewat forensik digital atas perangkat yang digunakan untuk mengirim pesan Whatsapp haruslah dilakukan. hal tersebut untuk membuktikan bahwa pesan itu dikirim dari nomer yang dipasang pada perangkat yang digunakan Ibu Saidah. 

Tidak adanya pemeriksaan forensik digital itu menyebabkan persidangan dilandaskan hanya pada keterangan saksi. Ini tentu tidak bisa dijadikan landasan bahwa pengirim pesan Whatsapp tersebut adalah ibu Saidah, sekalipun nomer tersebut terdaftar atas namanya. 

Terlebih dalam keterangannya, Ibu Saidah mengatakan ia tidak pernah mengirim pesan Whatsapp tersebut. Bahkan ia tidak kenal dengan orang-orang yang kemudian dikatakan menerima pesan Whatsapp tersebut sehingga barang bukti kasus ini sebenarnya lemah.

Kedua, kasus pencemaran nama UU ITE tidak bisa dipisahkan dengan pasal 310-311 KUHP. Dalam penjelasan hasil revisi UU ITE No. 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa pasal ini adalah delik aduan absolut, harus memenuhi unsur di muka publik, dan merupakan persoalan antar pribadi.

Dalam  Pasal 310 KUHP ayat (1) ada 4 unsur penting yang harus dipenuhi, yaitu (1) dengan sengaja, (2) menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, (3) dengan menuduhkan sesuatu hal, (4) yang maksud diketahui umum, maka empat unsur tersebut haruslah terbukti lebih dulu dalam persidangan.

Pasal itu jelas mengatur bahwa unsur pencemaran nama baik harus menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Artinya, objek penghinaan dalam kasus pencemaran nama baik haruslah, manusia perseorangan dan bukan badan hukum atau badan usaha atau badan pemerintahan. 

Selain itu, SAFENET menilai aduan yang diwakilkan oleh kuasa hukum, sangatlah membingungkan, apakah posisi kuasa hukum ini mewakili perusahaan atau individu pemilik perusahaan. Sehingga tidak jelas siapa pelapor yang nama baiknya dicemarkan. 

Kemudian pesan Whatsapp ini sebenarnya percakapan antar pribadi, yakni antara nomer pengirim dan nomer penerima, dan bukan dilakukan secara publik, diketahui oleh umum. Dalam kasus ini tidak ada prasarana teknologi yang digunakan untuk membuatnya dapat diakses oleh orang lain selain dari penerima itu sendiri.

Ketiga, dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia terkait petunjuk teknis penanganan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa sebelum informasi atau dokumen elektronik dijadikan alat bukti, harus dimintakan keterangan ahli dari Departemen Kominfo yang dalam penjelasan revisi UU ITE telah ditegaskan yang dimaksud adalah PPNS Kominfo Pusat. Sedangkan dalam kasus Ibu Saidah, saksi ahli ITE yang dihadirkan merupakan petugas Kominfo daerah Surabaya.

Oleh karena itu, SAFEnet meminta :

  1. Komisi Kepolisian Nasional/KOMPOLNAS bergerak proaktif untuk merespon aduan atas tidak dilakukannya proses pemeriksaan forensik digital oleh penyidik dari Pidana Khusus Polda Jawa Timur. SAFEnet menilai hal ini sangat perlu untuk memeriksa barang bukti yang diajukan sehingga menjadi alat bukti yang sah dan meneruskan laporan ini ke tahap selanjutnya. Meskipun kasus ini tetap tidak memenuhi delik aduan absolut sebagaimana yang disyaratkan dalam penjelasan UU ITE Nomer 19 Tahun 2016.
  2. Komisi Kejaksaan sebagai lembaga non struktural yang bertugas melakukan pengawasan, pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan perilaku Jaksa dan/atau pegawai Kejaksaan melakukan pemeriksaan terhadap jaksa penuntut umum karena “memaksakan” kasus ini untuk disidangkan, meskipun tidak memenuhi unsur yang disyaratkan dalam pasal defamasi.
  3. Komisi Yudisial yang diharapkan dapat memperbaiki praktik penyelenggaraan negara dari berbagai penyimpangan, termasuk dalam proses penyelenggaraan peradilan agar memeriksa hakim-hakim di dalam kasus Ibu Saidah ini demi tegaknya supremasi hukum.
  4. Pengadilan Tinggi Surabaya yang saat ini sedang memeriksa proses banding yang diajukan oleh kuasa hukum Ibu Saidah Saleh Syamlan agar segera membebaskan Ibu Saidah dari hukuman yang dijatuhkan kepadanya.

Denpasar, 3 Maret 2019