[Rilis Pers] 62,3% Warganet Tidak Yakin Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya Sudah Dilindungi

Pada 11 Februari 2020 yang merupakan Safer Internet Day 2020—sebuah perayaan global untuk saling bekerja sama demi terciptanya dunia maya yang lebih baik, Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi merilis hasil survei persepsi warganet muda Indonesia atas kebebasan berekspresi di dunia maya dalam sebuah diskusi publik “Anak Muda Indonesia Sudah Bebas Berekspresi di Internet, Yay or Nay?” di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta.

Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi menyelenggarakan diskusi publik membahas isu kebebasan berekspresi di dunia maya bersama Oktora Irahadi (Siberkreasi) dan Anindya Restuviani (Hollaback! Jakarta) pada Safer Internet Day 2020 di Perpustakaan Kemdikbud, Senayan, Jakarta (11/02).

Hasil surveinya cukup mencengangkan: warganet* muda tidak merasa bebas berekspresi dan pula tidak yakin kebebasan berekspresi di dunia maya sudah dilindungi dengan baik di Indonesia.

Di era dengan konektivitas tinggi dan berbagai kemudahan yang difasilitasi teknologi, kehidupan anak muda di dunia offline dan online saling silang dan sangkut paut, terutama karena kehadiran media sosial. Anak muda–yang ditetapkan oleh PBB berusia antara 15-24 tahun— memang para digital natives, sejak usia dini sudah bersentuhan dengan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk internet dan produk-produknya.

Anak muda merajai posisi sebagai pengguna terbesar internet, baik di jagat maya Indonesia maupun di kancah global. Tidak heran mendengar anak muda lantang berekspresi di internet, entah untuk curcol, beropini politik, mengekspresikan gender dan seksualitasnya, atau sekadar menyalurkan hobi—yang jelas konten mengalir deras dari tarian jemari warganet muda di gawai-gawai yang terhubung dengan internet.

Sayangnya, Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi melihat ada beberapa insiden terkait kebebasan berekspresi warganet muda Indonesia yang terbentur UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Dua di antaranya yang cukup menyerap perhatian warganet pada 2019 adalah kasus vlogger Rius Vernandes yang dilaporkan Sekarga (Serikat Karyawan Garuda) dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik, dan pemanggilan gamer dan YouTuber Kimi Hime oleh Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) atas dugaan mengunggah konten yang melanggar unsur kesusilaan dalam pasal 45 UU ITE.

Rius dilaporkan ke polisi terkait unggahan di InstaStory miliknya atas tampilan kartu menu Kelas Bisnis Garuda yang ia dapatkan saat menumpangi maskapai tersebut, karena Sekarga menganggapnya sudah merugikan citra Garuda. Pemanggilan Kimi Hime oleh Kominfo terkait konten video unggahannya yang dianggap vulgar. Kasus Rius berakhir damai dengan pencabutan laporan. Kasus Kimi Hime berujung pada gamer tersebut menghapus konten YouTube dan Instagram yang dianggap berunsur vulgar, sesuai dengan pembinaan konten yang diberikan oleh Kominfo.

Ellen Kusuma sebagai bagian dari Organizing Committee Indonesia Youth IGF dan SAFEnet menyayangkan dua kejadian tersebut. “Dilihat dari perspektif tata kelola internet, sebagian dari pasal UU ITE telah digunakan sebagai landasan pembatasan konten yang tidak proporsional. Ini berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi seseorang di dunia maya,” ungkapnya. “Efeknya bisa banyak, termasuk swasensor.”

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, menjelaskan bahwa dalam kurun 5 tahun terakhir, skor kebebasan berekspresi Indonesia terjun bebas ke angka terendah semenjak reformasi. SAFEnet menemukan hal ini terjadi karena ada pemberangusan pendapat di segala bidang, penyempitan ruang kritis warga.

“Di mayantara, bentuknya berupa pemidanaan warga dengan pasal karet UU ITE, aturan yang membatasi hak digital, hingga serangan siber yang mengancam secara digital maupun secara fisik lewat persekusi online,” ujar Damar. “Kami khawatir bila ketiga bentuk kegiatan ini dibiarkan, akan menggerus demokrasi yang menjadi ciri khas masyarakat terbuka. Sehingga yang terbentuk kemudian adalah totalitarian.”

Ellen menimpali, “Hal inilah yang membuat kami bertiga (red. Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi) melakukan survei ini. Inti dari surveinya simpel. Apakah anak muda sudah merasa bebas dan aman saat berekspresi?”

Dari 284 responder survei yang didominasi perempuan (58,8%) dan berusia 21-25 tahun (34,5%) dan 17-21 tahun (26,8%), kami menemukan 56% warganet tidak merasa bebas mengungkapkan ekspresi mereka di dunia maya, sedang 44% sisanya merasa bebas. Setidaknya mereka merasa sudah bebas dalam mengekspresikan hal-hal terkait identitas dan peran gender (22,5%), pandangan atau opini politik (15,4%), keagamaan (15,2%), suku & ras (13,6%), seksualitas (11,2%), dan lainnya (22,1%) seperti hobi dan karya mereka di dunia maya.

Di sisi lain, hanya sebesar 4,2% warganet yang menjawab kebebasan berekspresi di dunia maya sudah dilindungi dengan baik di Indonesia. Sebesar 62,3% warganet menjawab tidak yakin dan 33,5% mengaku dengan tegas bahwa kebebasan berekspresi di dunia maya tidak dilindungi dengan baik di Indonesia. Soal merasa aman atau tidak saat berekspresi di dunia maya, 82,4% warganet mengaku tidak, dan hanya 17,6% yang mengaku aman.

Ada sebesar 24,1% warganet yang merasa aman mengekspresikan hal-hal terkait identitas dan peran gender mereka. Sisanya merasa aman dalam mengekspresikan hal-hal terkait pandangan atau opini politik (12,4%), suku & ras (12,1%), keagamaan (10,5%), seksualitas (10,1%), dan lainnya (30,8%), seperti hobi.

Pamflet Generasi yang diwakili Muhamad Hisbullah Amrie menyatakan, “Peringkat Indonesia dalam Global Democracy Index yang naik dari posisi 65 menjadi posisi 64 di tahun 2018 ke 2019 ternyata tidak sepenuhnya diikuti dengan perbaikan persepsi publik terhadap praktik demokrasi itu sendiri, salah satunya kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial. Dari survei kita bisa melihat bahwa sebanyak 62,3% pengguna media sosial muda masih tidak yakin bahwa kebebasan berekspresi mereka dilindungi oleh hukum.”

Lebih lanjut ia menambahkan, “Kita juga bisa melihat bahwa banyak insiden pelaporan dan penangkapan aktivis demokrasi yang menyuarakan kritiknya di media sosial seperti Ananda Badudu dan Dandhy Laksono di penghujung 2019 silam. Bukan berarti ini hanya akan terjadi pada kritikus saja, ini bisa terjadi pada siapapun.”

Dari survei pula, bila dikaitkan dengan insiden yang menimpa Rius, sebanyak 69% setuju bahwa pelaporan Rius ke polisi dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE oleh Sekarga adalah upaya pembatasan kebebasan berekspresi. Hanya sebesar 12,3% yang menjawab tidak setuju, dan sisanya tidak yakin (18,7%).

Di kasus Kimi Hime terkait isu konten vulgar pendapat warganet sedikit berbeda. Walaupun ada 57,4% warganet yang setuju bahwa permintaan Kominfo agar Kimi Hime menghapus kontennya yang dinilai vulgar adalah upaya pembatasan kebebasan berekspresi, ada sebanyak 22,9% warganet berpendapat sebaliknya dan sisanya (19,7%) merasa tidak yakin.

Bicara tentang hal-hal yang menjadi ancaman kebebasan berekspresi di dunia maya, 51,4% warganet berpendapat bahwa dipidana akibat UU ITE menjadi momok yang paling besar. Lalu disusul perundungan (26,8%), intimidasi dan ujaran kebencian (7%), pembatasan akses  dan blokir (6%), cyber crime (3,9%), pelanggaran privasi (2,8%), dan hoaks (2,1%).

Menanggapi ancaman pada kebebasan berekspresi di dunia maya ini, 42,2% warganet meminta adanya revisi dari pasal-pasal karet UU ITE. Selain itu, sebesar 40,1% warganet juga sepakat untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan 11,7% berharap adanya edukasi untuk masyarakat agar lebih paham tentang hak atas kebebasan berekspresi dan peraturan yang berlaku. Yang lain berpendapat bahwa melindungi privasi diri (5%) dan menghapus akun-akun nyinyir (1%) adalah cara demi bisa bebas berekspresi di dunia maya.

“Dengan temuan survei yang demikian, terlihat bahwa warganet muda memiliki rasa ketidakyakinan pada pemerintah yang cukup tinggi terkait pelindungan kebebasan berekspresi mereka, terutama karena keberadaaan pasal-pasal karet UU ITE. Harapan kami dengan rilisnya survei ini, anak muda lebih banyak dilibatkan pemerintah dalam merancang suatu peraturan yang terkait tata kelola internet. Jangan sampai anak muda hanya jadi angka statistik yang digembargemborkan,” tutup Ellen.

* Warganet yang dimaksud adalah 284 responden survei yang diselenggarakan Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi.

Addendum**

Survei online oleh Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi dibuka untuk umum dari 1 September 2019 – 14 Oktober 2019 dan memiliki target utama profil responden adalah warganet yang berusia muda, yakni berusia antara 15-24 tahun. Survei ini menggunakan teknik sampling aksidental, yaitu menyebarkan tautan survei di kanal-kanal media sosial dan jaringan komunikasi yang dimiliki Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi, terutama di platform media sosial Instagram, Twitter, Facebook, dan WhatsApp.

Hal ini berdasarkan pertimbangan atas demografi dan karakteristik audiens media sosial yang bervariasi. Kanal media sosial Indonesia Youth IGF memiliki audiens dengan rentang usia 13-35 tahun dan memiliki ketertarikan dengan isu tata kelola internet. Rentang usia audiens dari SAFEnet adalah 18-44 tahun yang tertarik pada isu hak-hak digital, termasuk kebebasan berekspresi di ranah online. Sedangkan Pamflet Generasi memiliki profil audiens berusia 13-44 tahun dan tertarik dengan isu-isu terkait HAM.

Pemilihan teknik sampling aksidental ini juga mempertimbangkan ketersediaan, ketertarikan, dan kesediaan para warganet secara acak pada saat informasi survei disebarkan sebagai bias hasil survei. Namun, dengan medium online yang penyebaran tidak dapat diisolasi sepenuhnya oleh kami, teknik ini dapat memberikan kami gambaran mengenai persepsi warganet yang berlatar belakang, bertujuan, dan berekspresi dengan cara yang berbeda-beda saat berada di dunia maya. Teknik ini juga memiliki kelemahan bahwa jumlah sampel mempengaruhi tingkat akurasi persepsi responden atas isu ini, sehingga persepsi dari 284 warganet yang menjadi responden survei masih harus diteliti lebih lanjut, terutama mengingat ada banyak faktor yang mempengaruhi hasilnya.

Sebagai penyelenggara survei, kami belum berpuas diri dengan hasil survei yang memang mengafirmasi hipotesis awal kami. Hipotesis ini sendiri tidak berasal dari ruang kosong, melainkan atas temuan Indonesia Youth IGF saat melakukan survei online serupa dengan 27 responden mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dalam satu acara bersama dengan BEM UNJ pada 26 Juli 2019, dan juga temuan saat melakukan diskusi publik dan roleplay group saat Dialog Nasional IGF Indonesia 2019.

Dengan hasil survei terbaru yang makin menguatkan tanda tanya atas situasi kebebasan berekspresi yang makin represif, Indonesia Youth IGF, SAFEnet, dan Pamflet Generasi ingin memantik diskusi yang lebih dalam lagi terkait isu kebebasan berekspresi di dunia maya dan pula dampaknya, terutama dilihat dari sisi warganet berusia muda yang menjadi penghuni mayoritas dunia maya Indonesia.

** Rilis ini telah ditambahkan bagian addendum yang menjelaskan metodologi survei pada 13 Februari 2020.

Unduh rilis pers ini: