Cabut Permenkominfo 5/2020 karena Rentan Disalahgunakan

Koalisi Advokasi Permenkominfo No.5/2020 menghimbau pada Presiden Indonesia Joko Widodo, beserta Kementrian Komunikasi dan Informasi untuk mencabut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (PSE Lingkup Privat) karena berpotensi menghalangi kebebasan berekspresi dan berpendapat serta meningkat resiko kriminalisasi pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 24 November 2021, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengadopsi Permenkominfo No. 5/2020 di tengah situasi pandemi COVID-19 dan perbincangan terkait draft Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Peraturan tersebut ditujukan untuk memberikan panduan pemberlakuan pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 4, pasal 97 ayat 5, pasal 98 ayat 4, dan pasal 101 Peraturan Pemerintah No. 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (atau dikenal dengan nama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik / ITE). 

Satu tahun setelah penerapan peraturan menteri tersebut, Koalisi Advokasi Permenkominfo No. 5/2020 masih tetap berpegang pada posisi bahwa ada peraturan tersebut bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam pemenuhan HAM yang sesuai dengan standar hukum internasional, terutama untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Adapun hal-hal yang berpotensi sebagai pelanggaran HAM dalam Permenkominfo No. 5/2020 antara lain: 

  • Terkait penerapan tata kelola dan moderasi informasi dan/atau dokumen elektronik. Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 memastikan agar pemilik platform tidak mencantum informasi-informasi yang sifatnya “dilarang”, maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya “dilarang”. Lebih jauh lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat “dilarang” merupakan data yang digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Kami berpendapat bahwa pendefinisian “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap pihak berwenang.
  • Terkait permohonan untuk pemutusan akses. Pasal 14 memberikan kewenangan bagi Kementerian atau Lembaga, Aparat Penegak Hukum; dan/atau lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. Selanjutnya, pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan “mendesak” apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Bila dibaca bersamaan dengan pasal 9, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai.
  • Terkait permohonan akses data, informasi, dan/atau percakapan pribadi. Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020 memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. Hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua. 

Koalisi Advokasi Permenkominfo No.5/2020 telah mengirimkan analisis dan rekomendasi terkait peraturan tersebut. Beberapa rekomendasi yang disampaikan antara lain:

1) memberlakukan penataan legislasi dan regulasi yang lebih efektif dan komprehensif, terutama berkaitan dengan implikasi Permenkominfo No. 5/2020 dan diskusi terkait pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi;

2) mengutamakan perlindungan data pribadi dan privasi melalui undang-undang yang progresif, terutama terkait prinsip-prinsip, mekanisme, prosedur, saluran komplain atas pembatasan yang dilakukan dan sesuai dengan standar hukum internasional;

3) memastikan perlindungan hak privasi atau pribadi, termasuk dalam tanggung jawab PSE lingkup privat, sehingga aturan yang terintegral terkait undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi dapat menjadi induk pengaturan;

4) memastikan keterlibatan publik dalam pengembangan kebijakan atau pembentukan hukum peraturan perundang-undangan terkait, meskipun produk hukum itu bagian dari wewenang pilar eksekutif.

Namun demikian, hingga hari ini belum ada upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mengkaji ulang Permenkominfo No. 5/2020 maupun untuk membuka ruang berdialog dengan masyarakat sipil. Sedangkan kian hari, kebebasan berekspresi di Indonesia bagi pembela ham dan publik yang ingin menyampaikan kritik, terutama di ranah daring, makin dibatasi.

Koalisi masyarakat sipil mendokumentasikan peningkatan pelarangan terkait kebebasan berekspresi di ranah daring, termasuk penggunaan pasal pencemaran nama baik di dalam KUHP (Pasal 310 (1)) terkait pencemaran nama baik dan UU ITE. Beberapa kasus terkait kebebasan berekspresi online antara lain kasus hacking website media Tempo dan Tirto.id, organisasi masyarakat sipil seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta doxing akun sosial media beberapa aktivis dan pembela HAM. 

Baru-baru ini, Koalisi juga menyayangkan keputusan Mahkamah Konstitusi  terkait uji materi Pasal 40 ayat 2b Undang-Undang ITE yang menyatakan bahwa  pemutusan internet dalam situasi yang dinilai meresahkan publik merupakan tindakan yang legal dan konstitusional untuk dilakukan. 

Dengan meningkatnya represi terkait kebebasan berekspresi di ranah daring, penggunaan Permenkominfo No. 5/2020 akan makin menghalangi kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia penduduknya, terutama untuk kebebasan berekspresi. 

Maka dari itu, Koalisi Permenkominfo No. 5/2020 meminta Pemerintah Indonesia untuk:

  • Mencabut Permenkominfo No. 5/2020 yang karena dapat mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat
  • Memastikan bahwa pelaksanaan peraturan serupa dengan Permenkominfo No. 5/2020 sesuai dengan standar hukum HAM internasional (terutama terkait implikasi dengan pembatasan kebebasan berekspresi)
  • Membuka ruang dialog antara pemerintah dengan masyarakat sipil dan mekanisme HAM baik di tingkat nasional, regional, dan internasional untuk membahas dampak Permenkominfo No. 5/2020 dan UU ITE pada kebebasan berekspresi dan berpendapat di ranah daring dan juga pada kerja-kerja pembela hak asasi manusia