SAFEnet Selesaikan Program Melawan Ujaran Kebencian

Akhir tahun lalu, SAFEnet menyelesaikan program peningkatan kapasitas masyarakat sipil dalam melawan ujaran kebencian di ranah digital. Program bertajuk “Melawan narasi kebencian dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan ekspresi di ranah digital” ini didukung Association of Progressive Communication (APC).

Program delapan bulan ini terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu workshop, pemantauan, dan riset. Semua kegiatan difokuskan pada empat kota, yaitu Denpasar (Bali), Makassar (Sulawesi Selatan), Pontianak (Kalimantan Barat), dan Solo (Jawa Tengah). Setidaknya 60 orang dari latar belakang beragam mengikuti dua hari lokakarya di masing-masing kota itu.

Selama workshop, peserta belajar tentang dua isu terkait ujaran kebencian. Pertama, teori dan aturan tentang ujaran kebencian. Kedua, memproduksi konten digital untuk melawan narasi kebencian.

Workshop di Denpasar digelar selama dua hari 8-9 Juni 2021. Pembicaranya adalah Vany Primaliraning (Direktur LBH Bali), Halili Hasan (Direktur Riset Setara Institute), Matahari Timoer (penggiat media sosial, pembuat konten kampanye keberagaman), dan Made Supriatna (peneliti).

Di Makassar, workshop digelar pada 14-15 Juni 2021. Pematerinya Direktur Imparsial, Al Araf; Abdul Azis Dumpa dari LBH Makassar, komika Sakdiyah Ma’ruf; serta Daeng Ipul, selaku blogger dan podcaster.

Di Kota Pontianak, workshop digelar 22-23 Juni 2021, dengan menghadirkan pemateri antara lain, Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan; Peneliti Yayasan SAKA, Subandri Simbolon; Dayang Melati, seorang Digital Marketing & Branding Strategist; dan Matahari Timoer selaku pegiat sosial media.

Workshop terakhir digelar di Solo pada 25-26 Juni 2021, dengan pembicara Leonard C. Epafras (Indonesian Consortium for Religious Studies – ICRS), Direktur Imparsial, Al Araf; komika dan praktisi keberagaman, Sakdiyah Ma’ruf; serta Arianti Ina R. Hunga (Universitas Kristen Satya Wacana).

Pemantauan Media

Adapun pemantauan media daring dilakukan dalam periode Januari – November 2021. Berikut adalah poin-poin umum yang ditemukan.

Pertama, agama merupakan isu paling banyak terkait dengan ujaran kebencian. Kasus ujaran kebencian ini terjadi di semua kota pengamatan, baik terhadap agama mayoritas maupun aliran minoritas. Di Bali, misalnya, ujaran kebencian terjadi pada agama Hindu dan Islam. Pelakunya bisa dari agama berbeda, tetapi juga oleh penganut agama itu sendiri.

Kedua, ujaran kebencian terhadap kelompok agama minoritas terjadi di dalam sesama agama itu sendiri. Misalnya ujaran terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah di Pontianak yang dianggap sesat oleh sesama penganut agama Islam maupun terhadap kelompok dalam agama Hindu yaitu Hare Krishna yang dianggap mengancam Hindu Bali.

Ketiga, Isu etnis juga masih menjadi hal sensitif untuk menyebarkan kebencian melalui ranah digital, sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat terhadap etnis Madura, di Bali terhadap non-Bali, serta di Indonesia pada umumnya terhadap etnis China.

Keempat, kelompok LGBTQ mengalami ujaran kebencian, terutama karena dinilai dengan standar moral mayoritas, seperti mengotori kota, mendatangkan musibah, hingga dianggap boleh diperlakukan secara tidak manusia dengan kata-kata, seperti “harus dibasmi karena mendatangkan musibah” dan “bakar saja semuanya itu LGBT” sebagaimana terjadi di Makassar.

Kelima, situasi pandemi juga turut mempengaruhi terjadinya ujaran kebencian, seperti ujaran kebencian terhadap “pendatang” yang tidak patuh pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maupun terhadap petugas / aparat.

Dari sisi media yang digunakan, ujaran kebencian terjadi hampir di semua platform, termasuk Instagram, Facebook, WhatsApp, Tiktok, YouTube, dan Zoom.

Adapun produk hukum yang digunakan untuk menahan pelaku adalah Undang-Undang (UU) Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pencemaran Nama Baik, Pasal 156A KUHP tentang Penodaan Agama, Pasal 335 KUHP tentang Ancaman dan Perbuatan Tidak Menyenangkan, dan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan kepada Penguasa.

Melengkapi workshop dan pemantauan, SAFEnet juga melakukan riset tentang ujaran kebencian di ranah digital ini. Hasil lengkap riset bisa diunduh dalam bahasa Indonesia maupun Inggris.